“Ahmad! Mana hasil testmu hari ini.” Suara itu begitu keras hingga Ahmad yang baru duduk di kelas 6 SD terlihat sangat ketakutan.

Ahmad membuka tas sekolahnya. Sehelai kertas diambilnya dari dalam tas. Dengan tangan gemetar, kertas itu disodorkan ke tangan bapaknya yang sudah menjulur lebih dulu ke arahnya.

Sontak, wajah Pak Sianto merah padam saat melihat angka 6 tertera begitu besar di sudut kanan kertas tersebut. “Kalau nilai test mu seperti ini terus, mana bisa kamu jadi orang sukses. Lihat tuh adikmu, dari sejak mulai masuk sekolah selalu mendapat ranking satu. Kurang apa bapak mendidikmu, setiap malam Bapak ajari kamu semua pelajaran yang diajarkan di sekolah, tapi tetap saja nilaimu tidak bisa lebih dari 6”

Ahmad hanya terdiam menunduk. Ia tidak berani menatap wajah bapaknya yang sedang marah.

“Sudahlah Pak jangan dimarahi terus, toh setiap anak pasti memiliki bakat yang berbeda-beda. Mungkin Ahmad bakatnya bukan di bidang pelajaran” ucap Bu Suminah mencoba membela Ahmad.

“Ibu ini bagaimana, selalu saja membela Ahmad, makanya dia sekarang jadi anak yang manja.” Bentak Pak Sianto dengan nada suara yang lebih keras.

Mendengar ucapan suaminya, Bu Suminah ikut tersulut emosinya. “Iyalah Pak, bagaimana pun Ibu yang mengandung Ahmad sembilan bulan, makanya Ibu tidak rela kalau Ahmad terus-terusan dimarahi.”

“Aaahhh anak sama ibu sama saja” cetus Pak Sianto sambil pergi meninggalkan mereka berdua.

Ibu Suminah kemudian meraih pundak Ahmad yang saat itu masih tertunduk sambil menangis terisak-isak. “Sudahlah Nak, tidak usah didengerin ucapan bapakmu, yang penting kamu terus belajar yang rajin dan jangan lupa shalat lima waktu.” Mendengar ucapan ibunya, Ahmad hanya mengangguk sambil mengusap air matanya.

Ahmad memang bukan anak yang menonjol di sekolahnya. Ia sering kesulitan untuk memahami pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Tapi, Ahmad termasuk anak yang rajin, setiap malam ia selalu belajar ditemani Pak Sianto dan Ibu Suminah, namun kemampuan menghafal Ahmad termasuk lemah, sehingga ia tidak pernah mendapatkan nilai yang memuaskan saat ujian.

Pada suatu hari, seperti biasanya Pak Sianto sudah berdiri di depan pintu saat Ahmad pulang sekolah. “Mana hasil testmu hari ini? Pokoknya Bapak tidak mau melihat nilai testmu jelek lagi.”

Hari itu Ahmad terlihat lebih gelisah dari hari-hari sebelumnya. “Maafkan Ahmad Pak” ucap Ahmad sambil menyodorkan sehelai kertas ke hadapan bapaknya.

Dengan cepat Pak Sianto meraih kertas tersebut. Terlihat dengan jelas goresan tinta berwarna merah membentuk angka 5 di atas kertas yang diserahkan Ahmad. Pak Sianto tidak sanggup lagi membendung amarahnya. Ia remas kertas hasil ujian di tangannya, lalu dilemparkan ke muka Ahmad yang sedang tertunduk di depannya.

“Dasar anak sialan kamu, menyesal Bapak punya anak seperti kamu.” Bentak Pak Sianto dengan wajah beringas.

Pak Sianto lalu mendorong kepala Ahmad hingga tersungkur ke bawah meja.

Ibu Suminah berteriak sambil berlari meraih tubuh Ahmad. “Cukup Pak, cukup, Bapak tidak punya hak untuk memperlakukan Ahmad seperti ini.” Ucap bu Suminah dengan suara terbata-bata.

“Baik kalau begitu, sekarang kamu urus anakmu itu” cetus Pak Sianto sambil pergi meninggalkan Ahmad dan Ibunya.

Ibu Suminah memeluk tubuh Ahmad sambil menangis terisak-isak. Ahmad bersimpuh di pelukan ibunya sambil tak henti-henti meminta maaf kepada ibunya. “Kamu tidak salah Nak, bapakmu saja yang tidak mengerti keadaanmu.”

Pasca kejadian itu Ahmad jatuh sakit. Ia seperti memendam perasaan bersalah karena tidak bisa memenuhi harapan bapaknya. Badannya demam tinggi, kadang ia menggigau sambil mulutnya selalu berkata “maafin Ahmad Pak, Ahmad tidak bisa menjadi anak yang pintar.” Perkataan itu terus diucapkan secara berulang-ulang. Ibu Suminah yang berada di sampinya merasa kasihan melihat kondisi Ahmad, sedangkan Pak Sianto hanya bisa mengintip dari balik pintu. Ada perasaan bersalah dalam hati Pak Sianto, namun 3 rasa gengsinya yang tinggi membuat ia tidak berani menunjukan perasaan itu di hadapan Ahmad dan istrinya.

Sudah tiga hari Ahmad tidak masuk sekolah. Pak Sianto datang ke sekolah untuk menyampaikan kondisi kesehatan Ahmad, sekaligus ingin menanyakan kendala-kendala Ahmad di sekolah, kenapa ia selalu mendapatkan nilai yang jelek.

Di pintu gerbang sekolahan Pak Sianto bertemu dengan seorang Satpam. “Selamat pagi Pak, mau ketemu dengan siapa?” Tanya Satpam kepada Pak Sianto.

“Saya orang tua Ahmad, bisakah saya bertemu dengan wali kelasnya Ahmad?” “Oh begitu, mari saya antar” Satpam itu mempersilahkan Pak Sianto masuk ke sebuah ruangan.

“Oya, memangnya Ahmad kenapa Pak, ko sudah tiga hari ini nggak masuk sekolah?” Tanya Satpam kepada Pak Sianto. Pak Sianto merasa heran karena Satpam di depannya seperti sangat mengenal Ahmad.

“Iya, sudah tiga hari ini Ahmad sakit” jawab Pak Sianto sambil memandang wajah Satpam di depannya.

“Oh, kasihan sekali Ahmad, sekolah ini sepi rasanya kalau tidak ada Ahmad.” Pak Sianto terlihat semakin bingung, namun belum sempat ia bertanya lebih lanjut, Satpam yang mengantarnya telah menunjuk sebuah pintu yang ada di sudut ruangan.

“Itu ruangan Ibu Melinda, wali kelas Ahmad.”

“Oh baik, terima kasih” jawab Pak Sianto singkat.

Pak Sianto kemudian mengetuk pintu ruangan. “Assalamualaikum”

Terdengar suara perempuan menjawab salam dari dalam. Tidak berapa lama daun pintu perlahan terbuka. Sosok perempuan terlihat berdiri di antara celah pintu.

“Silahkan masuk Pak.” Ucap perempuan yang tidak lain adalah Bu Melinda, wali kelas Ahmad.

Pak Sianto menyodorkan tangannya. “Perkenalkan saya Bapaknya Ahmad.”

“Oh iya, silahkan duduk Pak” timpal Bu Melinda menyambut Pak Sianto dengan ramah.

“Saya ingin menyampaikan kabar, bahwa sudah tiga hari ini Ahmad sakit, jadi tidak bisa masuk sekolah.”

“Oh begitu, ia kami semua bertanya-tanya kenapa Ahmad tidak kelihatan di kelas. Bagaimana keadaanya sekarang Pak?”

”Sampai hari ini badannya masih demam, tapi kami sudah memeriksakannya ke dokter” jawab Pak Sianto.

“Selain itu, ada hal yang ingin saya tanyakan kepada Ibu.”

“Apa yang bisa saya bantu Pak?” jawab Bu Melinda dengan penuh antusias.

“Selama ini Ahmad selalu jelek hasil ujiannya, apakah ada yang salah dengan Ahmad di sekolah Bu?”

Ibu Melinda justru malah tersenyum mendengar pertanyaan Pak Sianto. Melihat Ibu Melinda tersenyum, Pak Sianto menjadi terlihat bingung.

“Tidak ada yang salah dengan Ahmad. Memang harus saya akui bahwa Ahmad tidak menonjol dalam pelajaran, bahkan ia selalu terlihat kesulitan untuk memahami pelajaran yang diajarkan. Tapi terus terang, kami semua di sekolah ini sangat bangga kepada Ahmad.”

“Maksud Ibu?” Pak Sianto semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Melinda.

“Ahmad adalah anak yang baik dan jujur.”Ibu Melinda kemudian menyingkapkan gorden di samping mejanya. Ia memalingkan wajahnya ke luar jendela.

“Nah,… Bapak coba lihat anak yang duduk di kursi depan kelas itu?” Jari telunjuk Ibu Melinda mengarah pada seorang anak laki-laki yang sedang asik membaca buku. Kondisi anak itu sangat memprihatinkan, salah satu kakinya buntung hingga ke pangkal paha.

“Memangnya kenapa dengan anak itu bu?” Tanya Pak Sianto.

Ibu Melinda melanjutkan ucapannya. “Setiap hari, Ahmad yang selalu menggendong anak itu untuk menyebrang jalan di depan sekolah ini. Sejak Ahmad tidak masuk sekolah, terpaksa Pak Satpam yang harus menggendongnya.”

“Ahmad juga sering membantu siswa lain yang tidak mampu dengan mengumpulkan uang dari teman-temannya. Ia memang sering mendapatkan nilai tes yang pas-pasan, namun ia peroleh itu dengan cara yang jujur. Ahmad tidak pernah nyontek, meskipun ia tidak mampu mengerjakan soal ujiannya. Jadi, terlepas Ahmad tidak memiliki prestasi di bidang pelajaran, kami semua, termasuk semua guru-guru di sini merasa bangga punya siswa seperti Ahmad.”

Pak Sianto kaget bukan main mendengar cerita wali kelas Ahmad. Ia tidak menyangka bahwa anak yang selalu ia marahi justru menjadi kebanggaan di sekolahnya.

“Pak, saat ini orang seperti Ahmad-lah yang sangat dibutuhkan. Banyak sekali orang yang pintar, tapi hanya sedikit orang yang jujur seperti Ahmad. Jadi beruntunglah bapak punya anak seperti Ahmad” ucap Bu Melinda.

Lemaslah seluruh tubuh Pak Sianto, wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa penyesalan yang mendalam. Teringat kembali peristiwa beberapa hari yang lalu ketika ia membentak Ahmad dengan kata-kata yang kasar. Terbayang dengan jelas di matanya saat badan Ahmad tersungkur di bawah meja setelah kepalanya didorong sekuat tenaga olehnya.

Pak Sianto mulai terlihat sedih, wajahnya sembab menahan butiranbutiran bening yang mulai membasahi kedua sudut matanya. Ia begitu menyesal dengan sikapnya selama ini yang selalu kasar kepada Ahmad, padahal Ahmad menjadi kebanggaan banyak orang.

Tanpa pikir panjang, Pak Sianto langsung bergegas pamit meninggalkan Ibu Melinda yang terlihat heran dengan prilaku tamunya.

Sesampainya di rumah, Pak Sianto langsung berlari menuju kamar Ahmad. Di dalam kamar terlihat sosok anaknya yang terbaring lemas. Badannya demam tinggi, dari mulutnya terus terucap katakata yang membuat Pak Sianto semakin merasa bersalah. “Maafkan Ahmad Pak, Ahmad tidak bisa menjadi anak yang pintar. Ahmad tidak bisa mendapatkan nilai yang bagus.”

Pak Sianto tidak sanggup lagi menahan kesedihannya. Ia langung bersimpuh di samping tubuh anaknya, dipeluknya tubuh Ahmad dengan sangat erat. Sambil menangis tersedu-sedu Pak Sianto berkata kepada Ahmad “Maafkan Bapak ya Nak, ternyata hanya Bapak yang tidak merasa bangga kepadamu. Kamu memang bukan anak yang pintar, tapi hatimu sungguh mulia. Kamu selalu membantu orang lain dan kehadiranmu begitu dibutuhkan oleh teman-temanmu. Bapak menyesal Nak, Bapak Menyesal telah salah menilaimu selama ini.”

Ahmad menatap wajah Pak Sianto dengan pandangan yang nanar, terlihat sekilas raut kebahagiaan di wajahnya.

Selesai

Photo by Kat J on Unsplash